Selasa, 19 Julai 2011

Magang Story 3: Tangisan (T_T)

Assalamualaikum wrt wbt,

Alhamdulillah, selesai sudah minggu pertama di Anak, RSUD Karawang.

Masih bersisa 3 minggu lagi. (I can make it, InsyaAllah)

Baiklah, saya ingin berkongsi sebuah cerita. Pengalaman sewaktu oncall.

Hari itu, saya bertugas di Paediatric Emergency Unit

Sekitar jam waktunya makan tengahari, datang sepasang suami isteri. Isterinya mengendong bayi kecil. Wajah mereka kelihatan cemas.

Saya melihat kelibat mereka, langsung bergegas bangun dan menyapa.

"Assalamualaikum, ada yang boleh saya bantu?" tanya saya.

"Wa'alaikumussalam, dokter ya?" tanya mereka.

"Iya, saya dokter magang Anak" balas saya.

"Anak saya kejang-kejang" balas mereka lagi.

Saya mengendong anak mereka lalu membawa ke ruang perawatan anak-anak.

Sewaktu selesai anamnesis, pemeriksaan fisik, ternyata anak ini ada Convulsion Febris (kejang demam) disebabkan infeksi saluran nafas atas.

Suhunya sangat tinggi, hyperpyrexia, 41.2', sebentar-sebentar kejang.

Saya menulis obat-obat yang harus dibeli.

"Pak, maaf. Ini ada obat-obat yang harus SEGERA diberikan. Punten, dibeli obat-obatnya di Apotek (Farmasi) Emergency sana" sambil mengarahkan bapak bayi ini.

"Baik ibu" balas bapak tadi. Wajahnya muram. Dia berjalan lemah.

Saya masih merasa aneh, namun saya pendamkan saja.

Berbeza reaksi bapak ini dengan bapak-bapak yang lain saat saya memberikan obat. Selalunya mereka berlari mengambil obat.


10 menit.......

20 menit......

30 menit......

30 menit saya tunggu, masih tetap bapanya tidak membawa obat yang saya minta dibelikan buat anaknya tadi. Saya masih berdiri di sebelah anaknya. Saya masih memberikan perhatian kepada anak ini.

Saya bertanya kepada isterinya,

"Ibu, bapaknya mana? Anak ini kejang-kejang. Harus segera masuk obat" kataku.

"Ngga tahu dok" balas isterinya yang masih gelisah melihat anaknya sebentar-sebentar kejang.

"Coba ibu telefon" kataku memberikan cadangan.

"Kami ngga punya HP" kata ibu ini lagi.

Merasa ada perasaan yang meregut nafas saya sebentar. Saya terdiam. Saya meminta suatu hal di luar kemampuan mereka. Astaghfirullah. Saya merasa bersalah.

"Oh, maaf bu" kataku.

Setelah melewati 30 menit, saya nekad meninggalkan bayi ini untuk mencari bapaknya.

Saat saya melangkah keluar dari ruang perawatan anak-anak, saya melihat bapaknya berdiri tegak, di luar pintu. Tidak sama sekali terlihat ingin masuk ke ruangan perawatan anaknya.

"Bapak, saya tunggu di dalam lebih 30 menit. Bapak ke mana? Obatnya sudah dibeli?" tanyaku dengan nada yang agak tegas memandangkan risiko ancaman insufficiency glucose supply ke otak jika anak tadi terus menerus kejang.

Bapak tadi masih tertunduk.

Diam, tidak berkata walau sepatah. Wajahnya polos tidak bereaksi. Saat dia mengangkat kepalanya, saya merakam persis dalam memori saya, wajahnya. Mata bapak tadi kemerahan, terlihat genangan air mata.

Saya terdiam. Berhenti bertanya.

"Pak......." saya bersuara.

Dengan sendu sedan, bapak tadi menahan tangis. Tangannya menggeletar, menunjukkan wangnya, Rp 30k (RM 15) dan resep obat-obatan ke saya. Dia tidak mampu membeli obat-obat tadi. Namun begitu, dia tidak tega melihat anaknya yang masih kejang. Hanya berdiri di luar ruang perawatan dan menangis kerana kegagalannya memberikan sebaiknya buat anak kecil.

Ya Allah..Ya Rabbi..

Tanpa saya sedar, airmata saya keluar.

Saya tidak dapat menahan lagi melihat betapa perihnya bapak ini berusaha mencari wang buat membeli obat-obat anaknya.

Astaghfirullah.

Saat itu saya merasa, betapa hinanya diri.

Saya punya ilmu.

Saya punya wang.

Saya punya sesuatu yang bapak ini perlukan dan saya tidak dapat memberikannya.

Saya berlalu meninggalkan bapak ini. Saya bergegas ke bilik air. Menangis sepuasnya. Menangis dengan penuh rasa keinsafan.

Betapa saya kurang peka dengan situasi yang dihadapi pasangan ini.

Akhirnya, saya keluar dari bilik air, saya mengambil resep dari bapak tadi dan mengurangi jumlah obat. Cukup buat obat penurun panas.

Alhamdulillah, bapak tadi masih mampu. Syukur. Dengan izinNya, anak tadi tidak kejang lagi. Namun begitu, tetap berulang setelah dosis obatnya habis.

Setelah 2jam observasi, nama bapak ini dipanggil dari bagian administrasi.

"Maaf pak, ini ada obat antibiotik yang harus disuntik, tolong dibeli ya" kata perawat (nurse) di situ atas instruksi dokter specialist.

"Berapa harganya?" tanya bapak tadi, terlihat getaran kecil saat bapak tadi memegang resep obat.

"Rp 200k (RM 100)" ringkas jawapannya.

Bapak ini melihat saya dengan pandangan sayu.

Ya Allah, Ya Rabb..

Saya melihat wajah dan kudrat orang tua ini. Saya melihat sosoknya yang menahan tangis.

Airmata saya bergenang. Saya palingkan wajah saya dari melihat pasangan ini.

Saya tidak sanggup kerana lebih lama saya memandang mereka, lebih saya merasa jijik dengan diri sendiri kerana gagal membantu.

Astaghfirullah.

Saya melangkah lemah, saya mengusap bahu ibunya. Saya memberikan kata-kata semangat sambil menahan tangisan.

Astaghfirullah.

Ya Allah, Kau berkatilah usaha mereka, Kau redhailah usaha mereka dalam memberikan yang terbaik kepada amanahMu itu. Ameen.

4 ulasan:

  1. Allahu.... sebak dan banjir mata baca cerita ni.. tapi di bumi Indo ini memang tak sedikit kisah nyata macam ni. kalau kita tak cukup duit utk beli barang2 utk kemahuan, mereka tak cukup duit utk beli barang2 utk keperluan..

    sgt kesian bila tgk keluarga pasien kena pergi beli sndiri ubat2, hantar pemeriksaan (darah/kencing/PA/etc) sndri ke lab.. tapi apa kita boleh buat bila itulah birokrasinya. dan tak tahulah smpai bila macam ni.. yg kaya akan semakin kaya, yg miskin akan terus miskin.. astaghfirullah..

    sesungguhnya tempat ini, negara ini, banyak mengajar kita menjadi orang yg bersyukur, kan.. insyallah..

    BalasPadam
  2. Fir,

    Sama sedih sangat masa tengok muka keluarga patient. Ameen. Ameen. Ameen. InsyaAllah, ibrah yang mampu diambil untuk menjadikan kita manusia yang lebih bertaqwa kepadaNya

    BalasPadam
  3. Mst akak serba salah kan.. kalau bie, tak tahu nak buat mcm mana. kalau bie mst nanges je byk.

    BalasPadam
  4. Bie..sangat merasa serba salah. antara tanggungjawab dan juga rasa simpati

    BalasPadam